JAKARTA, ITNews
Indonesia diprediksikan akan merasakan imbas dari kebijakan AS yang berniat menetapkan bea masuk sebesar 50 persen untuk barang-barang dari Uni Eropa.
Kepala Penelitian dan Ekonom Senior di Mirae Asset Sekuritas, Rully Arya Wisnubroto menyebutkan bahwa apabila aturan tersebut betul-betul dilaksanakan, tidak hanya wilayah Uni Eropa dan Amerika Serikat saja yang akan merasakan dampaknya, melainkan perekonomian dunia secara total pun ikutan berpengaruh.
“Dampaknya dapat sangat besar. Bukan hanya untuk Eropa dan AS, tetapi juga seluruh dunia,” ungkap Rully kepada
ITNews,
Selasa (27/5/2025).
Menurut pendapatnya, dampak tersebut dapat dirasakan secara langsung dan tidak langsung oleh Indonesia. Sedangkan untuk pengaruh tak langsung disebabkan oleh gangguan dalam jaringan suplai global serta perlambatan perekonomian di skala global, hal ini pada gilirannya akan mengurangi kebutuhan impor negara kita.
“Penawaran produk-produk ekspor dari Indonesia pun ikut terpengaruh,” katanya.
Dampak instan terjadi lantaran sejumlah barang dari Indonesia telah ditimpa bea oleh Amerika Serikat.
Produk yang terpengaruh meliputi tekstil dan barang-barang tekstil (TPT), peralatan elektronik beserta suku cadangnya, sepatu, meubel, serta minyak mentah dari kelapa sawit (crude palm oil/CPO).
Terpisah, Ekonom dari Panin Sekuritas, Felix Darmawa, mengungkapkan keprihatinannya apabila Amerika Serikat sungguh-sungguh akan meningkatkan tariff kepada barang-barang dari Uni Eropa.
“Barang-barang dari Eropa akan semakin berharga di pasaran AS,” ujar Felix pada hari Senin, 26 Mei 2025.
Dia mengira bahwa Uni Eropa berpotensi merespons kebijakan tersebut dengan memberlakukan tariff sejenis pada barang-barang dari Amerika Serikat. Hal ini dapat menyulut perang perdagangan yang akan mempersingkat rantai pasokan global.
“Perusahaan-perusahaan akan menggali sumber pasokan serta pangsa pasar yang baru. Hal ini mungkin saja menyebabkan kenaikan biaya logistik, mendongkrak tingkat inflasi, dan membawa keengganannya,” ungkap Felix.
Arus perdagangan global juga berpotensi terdistorsi.
Felix menyebutkan pula bahwa walaupun tidak menjadi sasarannya secara langsung, Indonesia masih merasakan dampaknya. Lemahnya ekonomi di Amerika Serikat dan Eropa akan mengurangi kebutuhan dunia secara keseluruhan, termasuk untuk barang-barang yang diekspor oleh Indonesia.
Bagian-bagian yang paling rentan terhadap dampaknya adalah sektor dengan orientasi ekspor serta yang memiliki koneksi langsung ke pasar Amerika Serikat, Uni Eropa, atau menjadi elemen dalam jaringan pasokannya.
“Khususnya sektor manufaktur seperti tekstil dan pakaian, alas kaki, elektronik, serta suku cadang otomotif. Pengurangan permintaan dari negara berkembang dapat secara langsung mengecilkan jumlah ekspor,” jelasnya.
Di samping itu, bidang barang seperti minyak sawit mentah, getah karet, biji kopi, serta produk pertambangan dapat mengalami dampak merugikan akibatperlambatan sektor industri di negara-negara berkembang yang ikut mendorong penurunan kebutuhan bahan baku dari Indonesia.
Felix menyebutkan bahwa ketidakstabilan global dapat menghambat arus investasi asing ke Indonesia.
“Investor akan lebih waspada sebelum menginvestasikan uang mereka,” katanya.
Catatan penting adalah bahwa Presiden AS Donald Trump mengubah batas waktu perundingan perdagangan dengan Uni Eropa sampai tanggal 9 Juli 2025. Terdahulu, Trump telah menerapkan tarif 20% pada kebanyakan barang dari Eropa dan kemudian merendahkan tingkat tersebut menjadi 10% mulai 8 Juli sebagai bagian dari proses negosiasi.
Meskipun demikian, ancaman tersebut belum benar-benar lenyap. Dalam konferensi pers di Gedung Putih, Trump mengemukakan ketidakpuasannya terhadap kelambatan dalam proses perundingan dan sekali lagi mengancam untuk meningkatkan tariff hingga 50% mulai tanggal 1 Juni.
“Kita bakal bertemu sebentar lagi untuk mengkaji kemungkinan penyelesaian masalah,” jelas Trump dilansir BBC, Senin (26/5/2025).
Leave a Comment